4 Karakter Mukmin Sejati, Belajar dari Pohon !!!
“Tidakkah kamu perhatikan
bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti
pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. Pohon
itu memberikan buahnya pada setiap saat (pagi dan petang) dengan seizin
Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia
supaya mereka selalu ingat.” (Ibrahim: 24-25)
Setiap orang pasti senang dan terhibur
melihat indahnya pemandangan pohon. Suka berteduh di bawahnya. Menikmati
buah lezatnya. Memanfaatkan oksigen yang dihasilkannya, dan pohon
menyerap karbon dioksida yang kita keluarkan. Bahkan memanfaatkan setiap
helai daun, serabut akarnya dan kayunya untuk berbagai macam
kepentingan. Dan pohon adalah paru-paru dunia. Itulah perumpamaan
seorang muslim.
Di dalam Al-Quran atau hadits, banyak perumpamaan (matsal) untuk mendekatkan pemahaman terhadap sesuatu yang logis abstrak (ma’qul) dengan sesuatu yang bisa diindra (mahsus). Seperti halnya ayat di atas yang mengumpamakan seorang mukmin dengan pohon.
Tentang “kalimat” dalam ayat itu, para
ahli tafsir memiliki dua penafsiran; sebagian menyatakan bahwa yang
dimaksud adalah keimanan di dalam dada dan sebagian lagi menyatakan
sebagai orang mukmin itu sendiri. Kedua pendapat ini sebenarnya bisa
dikompromikan yakni seorang mukmin dengan keimanannya ibarat sebuah
pohon dengan sifat-sifat yang disebutkan setelahnya. Tentang pohon yang
menjadi perumpamaan, sebagian ulama menyebutnya sebagai pohon kurma.
Sebagian lagi menyatakan pohon sempurna itu hanya ada di surga.
Allah mengumpamakan seorang mukmin
dengan keimanannya ibarat pohon dengan empat sifat; pohon yang baik,
akarnya kuat menghunjam ke dalam tanah, batang dan dahannya menjulang
tinggi ke langit, yang memberikan buahnya setiap saat tak kenal musim.
Semua itu terjadi dengan izin Allah. Perumpamaan ini dibuat oleh Allah
agar manusia mengambil pelajaran.
Imam Fakrur Razi dalam buku tafsirnya
menjelaskan bahwa seorang mukmin memiliki empat karakter mendasar
seperti karakter yang dimiliki pohon. Masing-masing sifat pohon itu
memiliki padanan sifat (karakter) yang harus dimiliki oleh seorang
mukmin.
1. Pohon Yang Baik (Thayyib)
“kalimat yang baik seperti pohon yang baik”
Pohon itu disebut “thayyib” apabila memiliki empat sifat mendasar;
Pertama,
bentuk luar, dari akar hingga pucuk daunnya indah dipandang. Ia layak
menjadi pemandangan indah untuk “cuci mata”. Maknanya, secara fisik
penampilan seorang mukmin harus indah dan bersih. Wajah dan senyumnya
harus menyenangkan orang lain.
Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam, “Allah juga Maha Indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim)
Bahkan kebersihan dan kesucian badan,
tempat dan pakaian dari najis menjadi prasyarat sahnya setiap ibadah
kepada Allah. Dalam momen tertentu seperti Jumat dan shalat hari raya,
seorang mukmin dianjurkan untuk mengenakan pakaian terbaik yang
dimilikinya. Seorang mukmin dianjurkan senantiasa menjaga sunanul fitrah
(memotong kuku, memotong kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu
kemaluan dan rambutnya). Untuk tampil indah, tentu tidak mesti ganteng
dan cantik , menor atau mengenakan aksesori yang berlebihan. Sebab Allah
sekali-kali tidak melihat tampilan fisik seseorang. Allah menilai
seseorang dari takwanya. Sederhana namun tetap kelihatan bersih dan
pantas tentu lebih baik.
Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam bersabda, “Senyummu di wajah saudaranya adalah sedekah” (HR. Tirmidzi)
Seorang mukmin tidak perlu menampakkan kemurungannya kepada orang lain. Sebaliknya, ia harus menampakkan wajah sumringahnya.
Kedua, pohon memiliki
aroma yang sedap bahkan wangi, semisal kayu gaharu atau pohon yang
menghasilkan bungah dan dedauan yang wangi. Maknanya, seorang mukmin
juga harus menjaga aroma tubuhnya agar tetap wangi, atau minimal tidak
menimbulkan bau yang tidak sedap. Seorang mukmin harus memperhatikan bau
mulut dan tubuhnya jangan sampai mengganggu orang disekitarnya. Seorng
mukmin harus mampu membuat orang di sekitarnya merasa nyaman.
Rasulullah Sallallu Alaihi wa Sallam bersabda, “Aku dikaruniai rasa cinta dari dunia kalian yakni kepada wanitanya dan minyak wanginya. Dan dijadikan penyejuk hatiku ketika dalam shalat.” (HR. Baihaqi)
Karenanya, Rasulullah melarang seseorang
makan bawang kemudian datang ke masjid. Sebab, efek makanan itu akan
berimbas kepada aroma tubuh dan mulutnya. Bukan hanya karena ia akan
menghadap kepada Allah, namun hal itu juga dikhawatirkan akan mengganggu
kekhusuan jamaah lainnya di masjid.
Ketiga, pohon itu memiliki
buah yang harum dan lezat rasanya. Maknanya, seorang mukmin harus
senantiasa menjaga lisannya. Kata-kata yang diucapkan harus senantiasa
menentramkan, menenangkan, menghibur. Jika tidak, hendaklah dia diam.
Jangan sampai lisannya mengeluarkan kata-kata yang menyakiti dan menusuk
hati orang lain, apalagi kata-kata gombal (bohong) dan gunjingan dan
namimah. Konsekswensi keimanan mengharuskan seseorang berkata baik, jika
tidak bisa maka dia harus diam.
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah dia berkata baik atau diam.” (HR. Bukhari )
Lisan adalah juru bicara hati. Maka untuk menjaga hati, otomatis harus menjaga lisannya.
Keempat, pohon,
baik dari akar, batang dan dedaunannya memiliki manfaat dan khasiat
bagi lingkungan sekitarnya baik untuk obat-obatan atau lainnya.
Maknanya, keberadaan seorang mukmin harus memberikan manfaat kepada
orang lain. Seorang mukmin harus menjadi solusi dan jawaban atas sebuah
masalah bukan menciptakan masalah.
“Manusia yang paling dicintai Allah
adalah yang paling bermanfaat di antara manusia. Amal yang paling
dicintai Allah adalah menggembirakan dan menghibur orang muslim.” (HR. Baihaqi )
2. Pohon Yang Memiliki Akar Yang Kuat
“akarnya teguh”
Semakin kuat akar sebuah pohon maka
manfaatnya akan semakin banyak. Akar yang kuat membuktikan kesuburan
pohon tersebut dan akan bisa bertahan lebih lama. Maknanya, seorang
mukmin harus memiliki akidah, prinsip, pendirian dan mental kuat yang
“tak lekang oleh panas dan tak lapuk oleh hujan”. Seorang mukmin
senantiasa harus bisa menjaga imannya, memperbaruinya dan menghiasi hati
dengan keimanan itu. Sebab, meski dia seorang mukmin, tetap saja tidak
keluar dari dimensi kemanusiannya. Ia memiliki keterbatasan kekuatan
fisik dan akal. Suatu saat akan mengalami kelesuan. Sehingga ia perlu
memperbaruinya. Iman ibarat pakaian yang selalu dikenakan, pasti akan
mengalami lecek dan kusam sehingga perlu dibersihkan.
“Allah menciptakan keimanan laksana pakaian. Karenanya, mintalah kepada Allah agar memperbarui keimanan kalian.” (HR. Disahihkan oleh Al-Albani)
“Iman itu bertambah dan berkurang. Bertambah dengan ketataan dan berkurang dengan kemaksiatan.”(HR. Muslim)
3. Pohon Yang Memiliki Dahan dan Ranting Kuat dan Tinggi
“dan cabangnya (menjulang) ke langit,”
Batang dan dahan yang kuat dan tinggi
sebuah pohon dihasilkan oleh akarnya yang kuat. Sebuah pohon tanpak
sempurna jika ia memiliki batang dan dahan kuat menjulang ke langit.
Keduanya saling terkait. Semakin tinggi dan kuat sebuah pohon maka akan
semakin rindang dedaunannya dan akan memberikan manfaat oksigen bagi
manusia. Orang juga akan semakin merasa nyaman berteduh di bawahnya.
Maknanya, ruhiah (hubungan spiritualnya
dengan Allah) mukmin dan akhlaknya sesama manusia harus tinggi dan kuat.
Setinggi dan sekuat sebuah pohon. Semakin tinggi ruhiyah seorang mukmin
maka orang lain akan semakin nyaman dengannya. Sama halnya sebuah
bangunan rumah, semakin tinggi atapnya maka semakin adem orang yang
tinggal di dalamnya.
Selain itu, ini filosofi ini juga
bermakna, maka seorang mukmin harus bugar dan kuat secara fisik. Sebab
dengan kesehatan dan kekuatan fisik saja, perintah-perintah Allah bisa
dilaksanakan secara sempurna.
“Orang mukmin yang kuat lebih baik daripada orang mukmin yang lemah.” (HR. Muslim
4. Pohon Yang Memberikan Buahnya Tak Kenal Musim
“Pohon itu memberikan buahnya pada setiap saat (pagi dan petang) dengan seizin Tuhannya”
Ini sifat penyempurna dari sifat-sifat
sebelumnya. Dengan keindahan, akar kuat, dahan tinggi, sebuah pohon
belum bermanfaat secara sempurna kalau dia tidak berbuah. Atau berbuah
namun hanya sekali sepanjang usianya. Atau hanya berbuah secara musiman.
Pohon akan semakin sempurna bila berbuah sepanjang tahun dan tak kenal
musim. Bahkan kadang-kadang dilempari orang, pohon itu tetap akan
membalasnya dengan buah-buahan.
Maknanya, seorang mukmin itu harus
beramal yang bermanfaat untuk dirinya, keluarga dan orang lain secara
berkesinambungan dan istiqamah. Dilakukan dalam kondisi apapun. Inilah
simpul ajaran Islam. Amal salih tidak bermakna jika hanya dilakukan
sekali atau hanya dilakukan karena trend.
Istiqamah inilah yang menyebabkan Rasulullah saw beruban.
“Surat Hud (yang ada perintah istiqomah “istiqamahlah terhadap apa yang aku perintahkan” (Hud: 112) telah membuatku beruban.” (HR. Tirmidzi )
Karenanya, salah satu sifat orang
bertakwa ada berinfak dalam kondisi leluasa (berpunya) atau dalam
keadaan kekurangan sesuai dengan kadar kemampuannya.
“Yakni orang yang berinfak dalam keadaan leluasa dan sempit.” (Ali Imran: 134)
Jika ingin istiqamah, seseorang harus
memiliki energi kesabaran di atas rata-rata. Hanya dengan kesabaran dan
istiqamah itulah seseorang akan bisa menyudahi tugasnya dengan happy
ending atau lebih tepatnya husnul khatimah.
Semuanya Dengan Izin Allah
“Dengan izin Allah”
Kebaikan, manfaat dan amal salih
seseorang hanya bisa terwujud dengan taufiq, hidayah dan izin Allah.
Seseorang tak layak membusungkan dada dan berkacak pinggang saat mampu
menorehkan prestasi kebaikan. Sebab pada dasarnya ia tidak memiliki daya
apa-apa kecuali dari Allah.
“Tidaklah aku menginginkan kecuali perbaikan dan aku tidak akan mendapatkan taufiq kecuali dari Allah.” (Hud: 88)
Karenanya, seorang mukmin harus meminta
hidayah taufiq kepada Allah setiap hari 17 kali dalam setiap rakaat
shalatnya. Para ulama tafsir menjelaskan bahwa yang dimaksud dalam ayat,
“Tunjukkanlah kami ke dalam jalan lurus” (Al-Fatihah: 6) adalah hidayah taufiq yakni seseorang diberi Allah persetujuan, izin dan kemampuan melakukan kebajikan.
“Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.”
Lantas maukah hati dan fikiran kita terbuka merenungi perumpaan ini? Maukah mengevaluasi seberapa jauh kesesuaian kita dengan sifat-sifat tersebut?